Postingan

Menampilkan postingan dari 2015

Menuju Perbaikan Diri

Hari-hari sibuk di pengujung tahun. Sebuah tugas ajaib dengan deadline mepet yang cukup menantang, menghadapkan saya pada risiko dengan tingkatan yang lebih tinggi. Akhirnya setelah semua kesibukan mereda, saya bisa menulis lagi di blog ini. Sempat ada beberapa bahan tulisan yang rasanya mendesak ingin dituangkan, tapi memang pekerjaan-pekerjaan mendadak dan agenda- agenda pelesiran sangat menyedot perhatian. Alhasil, baru sekaranglah blog ini bisa kembali terisi dengan sebuah tulisan. Topik-topik menarik yang ingin saya angkat itu sepertinya lebih enak dibuat terpisah. Tapi karena sisa umur tanggal 31 tinggal menghitung jam sementara saya ingin bercerita lebih panjang , biarlah mereka saya pampatkan dalam sebuah tulisan saja. Semuanya masuk di sini. Entah seperti apa nantinya. Tapi, marilah kita mulai menulis. Jadi begini, bulan ini ada beberapa hal unik yang saya temui. Mulai dari seminar, tugas tambahan, pelesiran ke beberapa tempat yang cukup berkesan, sampai momen menyambut

Kala Coretan Berarti Segalanya

Baru-baru ini saya tergelitik dengan salah satu pemberitaan di media massa. Tidak terlalu penting tapi cukup menarik perhatian. Jokowi menuliskan kesannya pada buku tamu di Blair House saat kunjungannya ke Amerika (akhir Oktober, 2015). Ia menuliskan kesannya dengan gaya tulisan sambung yang bunyinya: “Terima kasih atas kehangatan, persahabatan, dan keramah-tamahan yang baik selama rombongan Indonesia berada di Blair House. Terima kasih yg sebesar-besarnya. –  (tanda tangan) Jokowi, 28 Oct 2015.” Hanya itu. Tak kurang dan tak lebih. Isi kesannya santun, menghargai penerimaan tuan rumah yang baik kepada tamu dari Indonesia. Jokowi sangat tersanjung dengan keramahan Obama dan stafnya selama mereka mengunjungi White House. Deborah Dewi—seorang grafolog ngetop Indonesia—lantas memberikan analisanya atas tulisan tangan sang presiden.  Grafolog American Handwriting Analysis Foundation itu memaparkan bahwa tulisan tangan Jokowi mampu menunjukkan persepsi hubungan bilateral Indonesia dan

Antara Aku dan Si Tikus Kecil

Malam itu, seekor tikus kecil masuk begitu saja lewat celah pintu kamarku yang sempit—pintu kamarku sudah tak sebagus dulu, ada celah di pojok bawahnya. Si tikus berlari masuk dari luar kamar lewat celah itu lalu berbelok menyusuri tepian dinding. Sempat kukira itu cecak, karena pernah  beberapa kali aku melihat cecak yang terjatuh atau mungkin sengaja menjatuhkan diri. Tapi begitu aku sadar bahwa cecak tak secepat itu larinya—dan tentu saja mereka tak berwarna hitam—langsung aku tersentak dan berdiri di atas kasur. Si tikus juga kaget, kini dia bersembunyi di belakang ranselku yang tegeletak di lantai. Aku masih ternganga, memandangi daerah di sekitar ransel itu, berjaga-jaga kalau si tikus berlari menuju ke arahku. Tak terjadi apa-apa, kuberanikan diri melangkah dan mendekati ranselku. Saat aku melangkahkan kaki, si tikus sepertinya diam tak berani bergerak … tapi pada langkah kedua, pijakan kakiku membuat lantai kamar berdecit. Maklumlah, aku tidur di loteng yang berlantai kayu.

Hari-Hari Si Ngatijo

Setiap malam Ngatijo tidak pernah tidur pulas. Ia kerap membolak-balikkan badannya di atas ranjang, berganti posisi karena Ngatijo tidak kunjung merasa nyaman. Lelaki tua yang ubanan itu belum juga makmur di usianya yang senja, masih saja melarat. Malam itu, sesekali Ngatijo merasakan sakit di kepala, snut-snutan. Keningnya pasti terasa nikmat bila dipijat – andai ada orang yang memijatnya, begitu pikirnya. Ranjang tempat ia berbaring tak lagi empuk, rasanya hanya seperti rebahan di atas dipan yang dilapis lipatan dan kerutan kain butut. Jika Ngatijo sedikit saja bergerak, suara derit yang parau bakal terdengar – seperti bunyi sesuatu yang terjepit di antara dipan dan kasurnya. Lalu tiba-tiba, kedua matanya seketika terbuka, dalam benaknya terlontar sebuah pertanyaan: waduh, besok ngutang sama siapa lagi ya?             Malam merangkak lambat, bulan purnama terang, namun alam sudah sunyi dan kian tenang. Di dapur rumah Ngatijo, tikus dan cecurut di dekat tungku sedang rapat, tengah

Hebatnya Dunia Pemahat-Kata

Bekerja di dunia tulis-menulis membuat saya semakin bersyukur. Mengapa? Apa hubungannya antara menulis dan bersyukur? Sebelum saya menjawabnya, akan saya ceritakan dulu bagaimana saya bekerja setiap hari …. Komputer hampir seperti segalanya bagi saya, bahkan paras monitornya lebih sering saya tatap ketimbang wajah istri saya sendiri. Saya selalu duduk manis di depan layarnya ketika di kantor. Atau saat saya membawa pekerjaan kantor ke rumah, si komputer akan duduk manis di pangkuan saya. Ini menyadarkan saya mengapa komputer jinjing itu disebut laptop. Lalu, begitu menyalakan komputer, masuklah saya ke “dunia lain”. Dunia yang mengizinkan saya melakukan apa saja. Dunia yang—setidaknya untuk sementara waktu—membolehkan saya membuat kesalahan, sebanyak dan sefatal apa pun itu. Dunia yang tak mengenal kata menyesal sebab segalanya bisa saya sunting kemudian. Kata “menyunting”, selalu menyenangkan bagi saya—in every sense of the words. Inilah dunia saya: dunia pemahat-kata. Dari puluh

Ummm ....

Gambar
Ya dan tidak, ternyata sama saja. Ada yang bisa bantu saya? =p

Tik tok tik tok …

Waktu terasa begitu cepat berlalu dan semakin cepat berlalu. Rasanya memang begitulah adanya. Dulu kata orang, saat saya ceritakan hal ini, dia minta saya bersyukur. Dia bilang itu tandanya waktu yang saya punya selalu bisa saya manfaatkan dengan hal-hal yang berguna. Tapi saat ini, saya merasa bahwa waktu secara harfiah memang benar-benar cepat berlalu. Entah mengapa, dari hari ke hari, waktu terasa begitu deras mengalir. Seorang teman di kantor bilang bahwa waktu sangat tidak terasa berlalu, dari pagi hingga siang, dari siang hingga petang, hingga akhirnya bubaran pulang. Dia bilang karena dirinya sibuk. Tapi, saya pernah mencoba seharian bermalas-malasan, ternyata waktu tetap saja sangat cepat merangkak meninggalkan lamunan kita, menelantarkannya di sudut-sudut dan emperan pusaran dimensi waktu yang penuh misteri. Menurut saya, kita merasa diri kita terlalu banyak pekerjaan sehingga waktu benar-benar tersita. Ilusi ini terjadi karena otak dikelabui oleh pembagian waktu dan kine

Si Baik dan Si Buruk

kadang tebersit di pikiran kita, mengapa banyak sekali orang baik yang bisa tersisihkan oleh orang jahat. padahal, kalau kita ingat-ingat ajaran orang tua dulu, atau mungkin kalau kita tengok film dan buku-buku, tak sedikit yang meyakinkan kita (lewat pesan moralnya), bahwa orang jahat selalu dapat dikalahkan oleh orang baik. tapi, nyatanya tidak seperti itu. ada banyak orang baik yang kalah bersaing dengan orang jahat. biasanya si jahat memang main curang, apa pun bentuknya. tapi, seharusnya yang baik tetap menang walaupun si jahat berlaku curang, selicik dan sehina apa pun cara yang dia tempuh. sekarang, coba pikirkan, bagaimana kalau keadaannya tidak selalu seperti itu, bahkan saya sering menyaksikan ada orang baik yang dia mesti mengalah atau tunduk kepada orang jahat. hmmm..."mungkin pertandingan belum selesai, kita lihat nanti siapa yang tertawa paling akhir". ternyata anggapan saya salah, sampai akhir pun si baik tetap kalah, sementara si jahat tetap berbusung dada

Kembali Jadi Anak Kecil

Saat kecil, kita pasti sering membayangkan bahwa kelak ketika dewasa kita akan jadi orang sukses. Sebagian besar dari kita pasti membayangkan demikian, dan sisanya—entah karena terlalu polos atau memang bermental easy going—barangkali tidak pernah memikirkan hal itu. Saya sendiri ketika masih kecil selalu membayangkan bahwa nanti saat sudah dewasa, saya akan menjadi orang sukses; jadi orang kaya, cita-cita tercapai, punya harta banyak. Tapi, apa yang akan kita perbuat bila memang kehidupan tidak pernah semulus seperti yang kita inginkan? Waktu kecil kita memandang dunia dalam perspektif seorang anak. Selalu ada hal baru dan menyenangkan setiap harinya. Ketika kita mengalami sesuatu untuk kali pertama, kita akan sangat antusias ketika merasainya. Segala pengalaman pertama adalah pengalaman yang mengasyikkan. Misalnya: hari pertama puasa, pertama kali naik kereta, pertama kali berangkat sendiri ke sekolah, dan berbagai pengalaman lainnya. Semua itu menanamkan mental positif kepada k

InfO2rmasi

Pada masa ini, orang yang akan menguasai dunia adalah orang yang menguasai informasi. Dulu orang pikir kekuasaan hanya bisa didapat lewat kekuatan, tak ubahnya saat zaman primitif. Saat seseorang punya keingingan, “paksaan” menjadi pilihan utama. Yang membedakan hanyalah sifatnya; ada paksaan secara keras dan ada paksaan secara lembut. Paksaan keras digunakan oleh orang dengan intelijensi yang agak kurang, sedangkan paksaan lembut biasa digunakan oleh orang berpendidikan dan punya pengaruh, bahkan tak jarang ia memanfaatkan orang lain. Ya, ada masa paksaan, yang pada masa itu orang dibuat takut untuk mengikuti kemauan orang lain. Ini pun terjadi dalam peperangan. Dalam suatu pertempuran—pada era apa pun—kekuatanlah yang lebih ditonjolkan:  kelebihan jumlah tentara, seberapa maut senjata, atau sebanyak apakah jumlah sekutu. Dahulu orang beranggapan kekuatan fisik adalah segalanya, dan hal ini berlangsung lama sekali. Walaupun peralihan antara zaman hard power ke soft power tida

Agent of Change?

Jalan-jalan dipasang barikade, arus lalu lintas macet atau terpaksa dialihkan, hingga aksi pembakaran yang tersulut di berbagai tempat; itulah potret yang jamak terlihat manakala demonstrasi terjadi di negeri ini. Huru-hara semacam itu bermunculan di banyak tempat saat massa berdemonstrasi menolak kenaikan harga BBM beberapa waktu lalu. Komposisi massa yang dimaksud mungkin bervariasi, tapi memang pada akhirnya unjuk rasa tersebut lebih banyak didominasi dan diatasnamakan oleh mahasiswa. Fungsi demonstrasi atau unjuk rasa itu sendiri tak lebih dari suatu media atau cara agar orang dapat menyatakan pendapatnya mengenai suatu persoalan. Tapi kalau demonstrasi sudah bercorak anarki, itulah yang menjadi masalah; yang sayangnya hal semacam ini kian mudah kita temukan di sana-sini. Membaca berita beberapa hari lalu tentang demo BBM membuat kita miris. Demonstrasi penolakan kenaikan harga BBM di sejumlah kota seperti di Jakarta, Medan, dan Makassar, berujung bentrok. Pembakaran hingga pe

God Works in A Mysterious Way

Waktu itu, saya diminta orang rumah untuk membawakan bubur ayam, sepulang kerja. Itu berarti saat pulang saya mesti mencarikan dulu tukang bubur ayam atau tempat jualan bubur ayam yang buka malam-malam. Untunglah, saat ini tukang bubur ayam tidak hanya ramai saat pagi hari saja, sebab malam hari pun, sudah banyak penjual bubur ayam yang menjajakan dagangannya. Intinya, buat saya permintaan itu tak jadi masalah. Tapi kemudian, saya mengingat-ngingat, sejauh yang saya tahu, hanya ada dua tempat jualan bubur ayam yang buka (juga) waktu malam. Yang satu tempatnya agak jauh—sehingga saya mesti mengambil jalan yang agak memutar ketika pulang—dan satu lagi tak begitu jauh dari rumah, kira-kira hanya makan waktu sepuluh menit dari rumah, tapi sayangnya di situ harganya mahal. Menjelang jam bubaran kantor, tiba-tiba hujan turun deras. Saya sempat hendak mengurungkan niat membawakan bubur ayam ke rumah. Namun setelah ditimbang-timbang, kasihan juga orang rumah yang sudah membayangkan hangatny

Hanya 10 Menit (saduran; lupa sumbernya)

Adi masih asyik dengan permainan ular tangganya sendirian, si mbok yang sejak tadi pagi sudah sibuk dengan pekerjaannya kini terlelap karena kelelahan. Jam sudah menunjukkan pukul 21.35, Adi sebentar menengok jam dinding di ruang tengah, sesaat  seperti  teringat sesuatu, lalu kembali melempar dadu. Suara tawa yang terdengar dari TV menjadi ironi yang mewarnai suasana sepi di rumah itu. Malam itu, seperti malam-malam yang lain, Adi sendirian menunggu ayahnya pulang. Suatu adegan yang lucu di layar TV sempat membuatnya bersuara seperti tawa, tawa yang justru terlihat mengibakan. Adi masih menunggu ayahnya, ada suatu permintaan sederhana buat ayahnya malam itu. Salah satu pion sudah hampir sampai di  kotak terakhir, namun pintu rumah terbuka sebelum Adi sempat melempar dadunya.  Serta merta air muka yang berseri terpancar dari wajah mungil itu. Ayah sudah pulang ! Dengan segera ia tinggalkan ular tangga yang sedari tadi menemaninya , Adi membereskannya dengan terburu-buru untuk su