Menjadi Manusia karena Buku
Apa yang paling berharga dari seorang manusia
ialah akal pikirannya. Inilah yang membedakan manusia dengan hewan. Kedua
makhluk ini sama-sama makan, sama-sama melakukan ekskresi, sekresi, dan
sama-sama bereproduksi. Bedanya, kita bisa bernalar dan menggunakan hati,
sementara hewan tidak. Otak dan hati merupakan dua elemen yang membentuk akal
dan pikiran. Oleh karena itu di dalam Islam, ada hikmahnya mengapa gerakan
sujud menjadi momen yang teramat dahsyat. Salah satu wujud mengagungkan Tuhan
sekaligus mengerdilkan diri kita ialah dengan cara bersujud. Otak kita yang
sangat berharga ini--di dalamnya terdapat triliunan sel, memuat 1 miliar bit
memori (setara dengan 500 set ensiklopedi lengkap), 100 miliar neuron yang
fungsinya mengingat dengan 100 triliun koneksi di antara mereka--diletakkan
sejajar dengan kaki yang begitu rendah, menyentuh tanah, seolah sederajat
dengan telapak kaki kita yang sering menapak pada sesuatu yang kotor. Timbunan
protein dan jaringan yang kita namakan otak ini, tak ternilai harganya. Di
sanalah ide dan gagasan manusia lahir; meletup dan berdenyut setiap saat.
Produk dari onggokan yang dinamai otak ini
adalah ide atau pemikiran. Dengan pemikiran, orang bisa jadi apa saja, orang
juga bisa berubah menjadi apa saja. Anda bisa memaksa seseorang untuk melakukan
apa pun yang anda mau, tapi tidak demikian dengan pikirannya. Isi hati dan
pikiran seseorang takkan dapat dipaksa oleh ancaman atau tekanan dalam wujud
lahiriah. Itulah yang membuat sebuah ideologi dapat hidup langgeng walaupun si
pencetusnya telah mangkat. Yusuf Estes pernah berkata, "Anda dapat
mengunci saya di dalam sebuah peti, lalu melempar saya ke lautan, tapi Anda
tidak dapat melakukan apa-apa pada hati (pikiran) saya." Maka, untuk
mengubah perilaku atau pemikiran seseorang, caranya ialah dengan melakukan
interaksi pemikiran, bukan dengan kekerasan atau tindakan fisik yang gegabah
lagi picik. Anda tak bisa meminta seseorang agar berbuat baik melaui paksaan.
Ada banyak media untuk menyuguhkan pemikiran.
Apalagi di era teknologi canggih seperti sekarang ini, rupa-rupa media
tersedia. Kita hanya tinggal memilihnya saja, sesuai sasaran dan gaya kita.
Tapi di tengah itu semua, buku masih menjadi media yang terpandang. Sebab di
dalam sebuah buku, tercurahlah gagasan-gagasan dari otak manusia yang tak
ternilai harganya. Ia menjadi corong bagi tersebarnya berbagai idealisme dan
pemikiran; hasil sulingan ide untuk dicecap segala jenis nalar dan logika. Apa
pun bentuknya, baik itu di alam nyata maupun yang tersedia di dunia maya, buku
tetap menjadi etalase intelektual yang menawarkan riuhnya gempita pemikiran.
Tanpa ide dan pikiran, tak akan ada buku. Oleh
musabab itu, buku dan gagasan menjadi dua sejoli yang tak terpisahkan. Selama
ada gejolak pemikiran, buku akan tetap ada. Ia akan senantiasa hadir di tengah
peradaban, merekam, melanggengkan, atau justru memupusnya. Maka manusia dengan
otaknya yang dijejali ide, tak akan mampu lepas dari buku. Pada tingkatan yang
lebih tinggi, membaca saja tidak cukup, tapi menulislah, sebab menulis adalah
sarana manusia untuk mencapai "keabadian".
Memandang buku sebelah mata adalah penghinaan
terhadap takdir Tuhan. Orang yang tak peduli pada buku sesungguhnya sedang
melakukan salah satu keteledoran yang berbahaya. Jika buku tak punya daya
teramat hebat, mengapa Tuhan memutuskan untuk memuat firman-Nya pada
mushaf-mushaf yang disebut buku? Mesti kita ingat juga, bahwa dalam kepercayaan
umat Muslim, ayat pertama yang dilafalkan sang nabi ialah "Iqra"
(bacalah; membaca teks, membaca alam semesta, membaca keagungan Tuhan).
Merupakan suatu kezaliman manakala kita menganggap buku sebagai benda tak
berharga. Sebuah kutipan anonim menyebutkan, "jika kau merasa hanya punya
satu nyawa, kamu mesti belajar caranya membaca buku."
Buku bisa mengubah hidup kita. Tentu kita
masih ingat dengan cerita tentang petualangan sekelompok anak di pesisir Belitung
yang ternyata kelak memberikan dampak positif pada masyarakat di sekitar sana.
Tak hanya itu, orang pun jadi tergerak untuk menggali lebih dalam tentang
hakikat pendidikan. Jangan lupa juga bagaimana Max Havelaar dapat membukakan
mata dunia tentang ironi kekuasaan dan penderitaan bangsa ini kala Indonesia
dijerat kolonialisme model lama. Atau coba bacalah The Old Man and The Sea,
atau buku-buku motivasi tulisan Nick Vujicic dan Parlindungan Marpaung yang
inspiratif dan mengena di hati. Jadi, buku jelas punya daya dan mampu mengubah.
Jika kita masih saja tak peduli dengan buku yang dengan narasinya mampu
mengubah kehidupan, maka tanyalah diri kita; pantaskah kita disebut manusia.[Luttfi Fatahillah]
Komentar
Posting Komentar