Pesta Itu Bernama Ubud Writers & Readers Festival
Saya merasa beruntung karena berkesempatan
untuk menjadi tamu di Ubud Writers & Readers Festival yang dihelat pada
25-29 Oktober tahun ini. Bagi para pegiat seni, sastra, dan literasi, festival
ini bisa jadi sudah mereka kenal atau minimal pernah mereka dengar. Kali
pertama saya menaruh perhatian pada event tahunan ini kira-kira pada 2010
(saya masih bekerja di penerbit konvensional), ketika seorang penulis memberitahu
saya bahwa dia diundang ke UWRF sebagai pembicara. Dari penjelasannya, saya menangkap
kesan bahwa festival tersebut merupakan salah satu gelaran literasi yang cukup
bergengsi. Walaupun demikian, dari tahun ke tahun saya tak pernah sengaja
mengikuti kabar tentangnya. Hingga enam tahun kemudian, penerbit tempat saya
bekerja bermitra dengan founder festival tersebut—Yayasan Mudra Swari
Saraswati. Kami menerbitkan buku antologi, berisi kompilasi tulisan
lintas-genre dari para penulis muda; mulai puisi, prosa, cerpen, esai, petikan
novel, hingga petikan naskah drama yang lolos kurasi untuk dimuat dalam
antologi resmi Ubud Writes & Readers Festival. Tahun ini, kami kembali
berkolaborasi. Saya pun kecipratan berkahnya dengan diundang untuk menghadiri
festival tersebut. Dengan mengantongi akses 4
day free pass, saya bebas mengikuti semua acara yang digelar di sana.
Bahkan ikut diundang pada gala opening pada malam tanggal 24 Oktober.
Berkelana di UWRF ternyata menghadirkan
perasaan yang menggelitik. Aneka ragam manusia dari berbagai latar belakang yang
telah menumpahkan kerja kerasnya pada dunia seni dan literasi tampil menjadi
panelis, membagi ilmu dan wawasannya. UWRF memang tak hanya soal buku, sastra,
jurnalistik, atau hal-hal yang berbau tulis-menulis. UWRF semacam hajat besar,
sebuah wahana apresiasi terhadap seni dan kreativitas. Musik, lukisan, fotografi,
drama, bahkan kuliner turut menjadi menu yang ditawarkan dalam festival ini.
Tak heran, setiap tahun festival ini selalu ramai dikunjungi tamu-tamu yang
datang dari berbagai tempat, dalam maupun luar negeri. Semua mata acara
tersebut tersaji dalam bentuk event-event berlabel Talk Show, Workshop, Book
Launching, Food & Ubud Culture, After Dark, Free Event, Pameran, dan
Satellite Event.
Mereka yang datang tak merasa “sayang”
dengan biaya yang harus dikeluarkan. Semua itu digantikan oleh berbagai bentuk diskusi
dan sajian hiburan yang dapat memuaskan dahaga intelektualitas mereka. Di sana,
saya bertemu pula dengan seorang perempuan dan penulis asal Sumba. Ia harus
menempuh jarak ratusan kilometer jauhnya untuk sampai ke Ubud. Tentu tak
sedikit ongkos yang harus dia keluarkan, belum lagi biaya menginap, makan, dan
lain sebagainya. Bagi saya, hal ini pun istimewa, sebab sekilas-pandang, saya
perkirakan peserta atau pengunjung festival ini 80% adalah warga asing. Peserta
lokal hanya sebagian kecil saja, antara memang benar-benar peserta atau “hanya”
staf panitia. Menghadiri UWRF ibarat sebuah rekreasi yang dapat menambah
wawasan kita—atau bahkan kepekaan seni—melalui kemasan-kemasan acara sederhana
yang tetap berbobot. Saya seolah berada entah di mana; alamnya di Ubud, namun dengan
mudahnya kita bisa menemukan gerombolan warga asing yang sedang becengkerama, berdiskusi,
atau tengah berjalan kaki menuju event
yang ia tuju. Di sini, kami ibarat lebah-lebah di padang bunga. Setelah selesai
mengambil nektar dari satu pangkal kelopak, kami bergegas terbang lagi menuju
bunga yang lain.
Tersedia lebih dari 200 butir acara dalam
gelaran ini (saya masih takjub dengan para panitia, bagaimana mereka mengatur
acara demi acara dan memastikan semua berjalan dengan apik). Acara tersebut dilaksanakan
secara pararel. Format ini membuat kita harus pandai memilah, acara mana saja
yang akan kita ikuti. Sebab tak jarang, ada event-event
menarik yang waktu pelaksanaannya bentrok. Mau tak mau kita harus memilih,
datang ke diskusi tentang proses kreatif penulisan novel kriminal bersama
penulis buku best-seller Australia atau menyimak cerita seorang jurnalis yang
sering diterjunkan ke wilayah konflik. Begitu kira-kira gambarannya. Sebenarnya
semua acara menarik, semua acara sayang untuk dilewatkan. Tapi di situlah
gregetnya. Kita mesti menentukan dan mengatur jadwal harian kita, mana saja event yang akan kita ikuti (dan tentunya
yang kita lewatkan sebagai konsekuensi pilihan kita). Untungnya, kita dibekali sebuah
program book sebagai buku panduan kita selama di sana. Di dalamnya termuat
jadwal acara berikut deskripsinya dengan penyajian yang praktis sekaligus
menarik—sangat membantu.
Pada UWRF kali ini, Yayasan Mudra Swari
Saraswati juga menganugerahkan lifetime achievement kepada novelis legendaris N.H.
Dini. Beliau dinobatkan sebagai penulis inspiratif karena mampu menyarikan
ide-ide yang dinilai progresif dalam karya-karya novelnya. Seremonial pemberian
penghargaan itu dilakukan saat Gala Opening. Malam itu, Pierre Coffin, sang
putra, menyodorkan lengannya untuk menggantikan tongkat sang Ibu, memandunya
sampai ke atas panggung (saya baru tahu beberapa hari sebelum acara bahwa
Pierre Coffin adalah putra N.H. Dini). N.H. Dini menerima penghargaan atas
kontribusinya yang ia wujudkan dalam karya-karyanya, disaksikan tamu undangan
dan hadirin Gala Opening, di antara mereka duduk pula perwakilan
kedutaan-kedutaan negara sahabat dan pejabat kementerian pariwisata RI.
Sejumlah lokasi dipilih sebagai venue untuk menggelar acara-acara
tersebut. Venue-venue yang dipilih
juga terbilang unik, mulai museum, kafe, saung, joglo, hingga puri yang juga
biasa disebut “Ubud Palace” atau Puri Ubud. Suatu waktu, saya baru saja selesai
mengikuti kegiatan di Museum Neka untuk menyaksikan sesi sharing Pierre Coffin, topiknya tentang kisah di balik penemuan
karakter Minion “Despicable Me”. Ketika saya berjalan menuju lokasi acara berikutnya—saat
itu kebetulan saya memarkir motor sewaan di tempat lain—seorang perempuan
berlari tergopoh-gopoh dari arah berlawanan. “Anda baru dari Neka?” (dia
mengetahui saya pengunjung UWRF dari nametag yang saya kenakan, semua orang
mengenakan nametag di acara ini). Saya mengiyakan. Lalu dia bertanya lagi apakah
acara Pierre Coffin sudah selesai. “Ya, baru saja selesai. Sekarang mereka
sedang sesi tanda-tangan,” jawab saya. Ia lalu menampakkan ekspresi kecewa.
Terlambat, pikirnya. Sambil mengucapkan terima kasih ia pun berlalu,
melanjutkan jogging-nya menuju Museum Neka.
Pada hari pertama festival digelar, saya menghadiri sesi sharing N.H. Dini. Sebuah aula yang “terbuka” dengan ditopang tiang-tiang dan selapis dinding di latarnya, telah disesaki peserta bahkan sejak acara belum dimulai. Selama acara berlangsung, entah itu penulis, jurnalis, atau sekadar penikmat literasi, dengan antusias mendengar cerita N.H. Dini. Baginya, menulis adalah upaya peninggalan jejak dan proses pengawetan ide. Suatu saat kita pasti akan wafat, tapi tulisan dan ide-ide kita akan tetap hidup selama ada yang membaca dan mengapresisasinya. N.H. Dini yang usianya sudah terbilang senja, masih mempertahankan selera humornya. Hadirin beberapa kali tertawa, salah satunya saat dia melontarkan lelucon bahwa ia menikahi “stranger”. Secara saklek, “orang asing” jika diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi stranger, padahal padanan “orang asing” yang tepat dalam konteks tersebut adalah foreigner, sementara stranger adalah orang asing dalam artian “orang yang tidak dikenal”. Panitia saat itu sebenarnya sudah mendudukkan seorang penerjemah di sebelah beliau. Namun karena dia bersikeras ingin memaparkannya ceritanya dalam bahasa Inggris, alhasil sang penerjemah hanya sesekali menerjemahkan atau memberikan penjelas. Memang begitulah “gaya” diskusi di UWRF, sederhana, cair, dan santai.
Momen yang tak kalah menariknya ialah ketika
menyaksikan diskusi yang juga diisi oleh para pegiat sastra dan literasi dalam
negeri. Penulis-penulis kondang pun ikut meramaikan kegiatan ini. Di antara
mereka ada Seno Gumira Ajidarma, Joko Pinurbo, Djenar Maesa Ayu, Trinity, Intan
Paramaditha. Leila S. Chudori, Debra Yatim, dan nama-nama lain yang terbilang
kawakan pun ikut berbagi. Belum lagi, sesi diskusi yang mengundang para pembicara
dari kalangan penulis muda juga seolah menyempurnakan komposisi para pembicara.
Karya para penulis muda inilah yang dimuat dalam antologi UWRF yang sejalan
dengan tema besar acaranya, mengambil Origins
sebagai judul antologi tersebut. Pada hari pertama festival digelar, saya menghadiri sesi sharing N.H. Dini. Sebuah aula yang “terbuka” dengan ditopang tiang-tiang dan selapis dinding di latarnya, telah disesaki peserta bahkan sejak acara belum dimulai. Selama acara berlangsung, entah itu penulis, jurnalis, atau sekadar penikmat literasi, dengan antusias mendengar cerita N.H. Dini. Baginya, menulis adalah upaya peninggalan jejak dan proses pengawetan ide. Suatu saat kita pasti akan wafat, tapi tulisan dan ide-ide kita akan tetap hidup selama ada yang membaca dan mengapresisasinya. N.H. Dini yang usianya sudah terbilang senja, masih mempertahankan selera humornya. Hadirin beberapa kali tertawa, salah satunya saat dia melontarkan lelucon bahwa ia menikahi “stranger”. Secara saklek, “orang asing” jika diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi stranger, padahal padanan “orang asing” yang tepat dalam konteks tersebut adalah foreigner, sementara stranger adalah orang asing dalam artian “orang yang tidak dikenal”. Panitia saat itu sebenarnya sudah mendudukkan seorang penerjemah di sebelah beliau. Namun karena dia bersikeras ingin memaparkannya ceritanya dalam bahasa Inggris, alhasil sang penerjemah hanya sesekali menerjemahkan atau memberikan penjelas. Memang begitulah “gaya” diskusi di UWRF, sederhana, cair, dan santai.
Emerging Writers UWRF 2017
Soal antologi, buku ini merupakan buah dari
program Emerging Writers yang diprakarsai oleh UWRF sendiri. Setiap tahun, UWRF
membuka kesempatan bagi para penulis tanpa batasan usia maupun kriteria khusus,
untuk mengirimkan karya-karyanya. Setiap karya yang diterima panitia akan
dikurasi. Tersebutlah dua sosok kurator pada UWRF kali ini, yakni Seno Gumira
Ajidarma dan Leila S. Chudori. Karya-karya tersebut kemudian dinilai dan
diseleksi. Menurut keterangan yang disampaikan oleh Janet DeNeefe (founder
Yayasan Mudra Swari Saraswati, beliau juga merupakan pembina sekaligus Pengarah
tim UWRF), naskah ajuan yang masuk berjumlah lebih dari 900. Sungguh, suatu
jumlah yang tak main-main. Dari 900-an naskah itu, hanya terpilih 15 naskah
untuk dimuat dalam antologi UWRF. Terbayang betapa ketat penialaiannya dan
betapa beruntungnya mereka yang berhasil lolos untuk diundang ke Ubud. Emerging
Writers yang terpilih akan dipasangkan dengan patron mereka masing-masing,
diberi tiket pesawat, disediakan akomodasi dan uang saku selama di Ubud. Asyik,
ya? Di UWRF, mereka diberikan sesi untuk membagi pengalaman dan ide-idenya,
semua yang orisinal dari tempat mereka berasal. Saya mengikuti beberapa sesi
yang diisi oleh para penulis Emerging Writers. Salah satu sesi yang menurut
saya cukup berkesan adalah sesi Morika Tetelepta dari Maluku. Tak hanya jago
menulis, ia pun pandai bermusik lewat aliran hiphop dan rap. Namun yang
membuatnya semakin unik ialah, dalam lagunya ia menyematkan pesan tentang
kejujuran bahwa apa yang tampak itu tak selalu nyata; mereka yang bernyanyi
belum tentu bahagia, bisa jadi mereka menyanyi justru untuk melupakan kesedihan
mereka.
Sebagai perwakilan penerbit, saya hadir di acara
launching buku antologi Origins.
Bertempat di Casa Luna, sebuah kafe yang lumayan unik; berdiri tepat di atas sebuah
anak sungai, dilengkapi pemandangan alami yang dramatis berupa pepohonan yang
serba hijau beserta akar belukarnya. Di lantai basement itu, kami semua duduk
di atas anjungan yang sesungguhnya adalah “jembatan”, tepat mengangkangi anak
sungai di bawahnya. Desain interiornya cukup eksotis, lukisan seorang penari Bali
yang berukuran besar menjadi fokus, terpajang di salah satu sisi. Ruangan yang
tak terlalu luas itu perlahan dipadati oleh hadirin: panitia, para patron,
sponsor, dan tentunya para Emerging Writer si empunya lakon. Janet Deneefe juga
hadir, memberikan sambutan dan ucapan selamatnya kepada para penulis. Pada satu
sesi sebelum pembacaan karya oleh perwakilan penulis, Wayan Juniarta—salah
seorang manajer kegiatan—menyebutkan nama dan meminta satu per satu pihak yang
terlibat dalam penggarapan naskah tersebut agar maju ke atas panggung untuk
diberikan applause dan foto bersama.
Di bagian penutup, empat orang penulis perwakilan
membacakan karyanya. Dua buah puisi dan dua buah esai. Terpancar raut wajah
semringah dan penuh gairah dari para penulis. Jelas, ini bukan launching biasa, mungkin pengalaman
sekali dalam seumur hidup bagi mereka. Setelah acara demi acara tuntas, kami
pun beramah tamah, mengobrol, sekadar bertukar kartu nama, atau obrolan serius
lainnya menyangkut proyek penerbitan dan rencana-rencana mereka. Sebuah
pengalaman berharga bagi saya untuk mengikut rangkaian acara tersebut dan
bertemu dengan orang-orang luar biasa seperti mereka.
Tak terasa, enam hari saya berada di Ubud
untuk mengikuti UWRF. Banyak pelajaran yang dapat saya petik, banyak pula pengetahuan
yang ikut membenam di benak saya. Pada hari terakhir menjelang senja, panitia
sudah berbenah, mengemasi barang-barang. Kursi-kursi, meja-meja, x-banner, dekorasi, bahkan “markas”
media center pun mulai dirapikan. Itu semua menandai bahwa pesta literasi
tersebut akan segera diakhiri. Seiring dengan hari yang semakin gelap, satu per
satu venue menjadi sepi. Namun, bukan berarti semuanya selesai sampai di sana.
Kesibukan justru beralih ke Blanco Renaissance Museum. Di sanalah Closing
Ceremony yang meriah digelar. Pukul tujuh lebih sedikit, tarian pembuka dipentaskan.
Pada malam penutupan itu tumpah ruahlah suka-cita para hadirin, pertunjukan
tarian tradisional dan musik alernative-pop pun memberikan jejak yang penuh
kesan bagi semua tamu. Pesan penyelenggara pun tak lupa disematkan untuk mengingatkan
hadirin pada UWRF edisi berikutnya. Mereka memulainya dengan sangat baik dan
menutup semuanya dengan manis.
Kendatipun saat itu status Gunung Agung bagi
banyak orang masih membuat galau, tak surut minat para peserta dan pembicara
untuk menghadiri festival tahunan di Ubud itu. Bahkan, Nuri Vitachi—ketua
asosiasi penulis Asia Pasifik—pada Gala Opening dalam sambutannya menyebutkan
bahwa mereka tak gentar untuk hadir ke Ubud, karena semangat merekalah Gunung
Agung enggan meletus, katanya berseloroh. Ia memberikan apresiasi sekaligus
motivasi bagi seluruh elemen yang terlibat. Ya, walaupun masih diterpa
kekhawatiran erupsi Gunung Agung (bahkan panitia menganjurkan kepada seluruh
peserta dan pembicara untuk membawa jas hujan dan masker), antusiasme semua
orang tak mampu diredam. Acara berlangsung lancar, meriah, dan kaya makna.
Sebagai sebuah ajang apresiasi literasi, seni, dan sastra, UWRF merupakan alam
permai yang setiap tahunnya menggoda kita untuk berkunjung dan menjelajahinya; baik
sekadar menikmati atmosfernya maupun memetik buah-buahan segar yang tumbuh subur
di atas tanahnya. Bagi saya pribadi, sungguh saya tak kapok datang ke sana lagi.
(Luttfi Fatahillah).
Komentar
Posting Komentar